Home > News

Awan Neptunus Lenyap, Diduga karena Aktivitas Matahari

Setelah menganalisis data selama 30 tahun, para ilmuwan menyimpulkan keanehan awan Neptunus.
Tangkapan teleskop James Webb tunjukkan planet Neptunus bercahaya segar. Gambar: Astrology.co.au
Tangkapan teleskop James Webb tunjukkan planet Neptunus bercahaya segar. Gambar: Astrology.co.au

ANTARIKSA -- Pada hari Kamis, 17 Agustus 2023, para astronom mengumumkan pembaruan yang tidak terduga tentang salah satu raksasa es tata surya kita, Neptunus. Tampaknya awan dunia biru itu telah menghilang. Makalah tentang temuan tersebut termuat dalam jurnal Icarus edisi November.

Pada dasarnya, setelah melihat gambar yang diambil dari planet antara kedelapan tahun 1994 dan 2022, tim melihat pola aneh yang dimulai pada 2019. Di sekitar garis lintang tengah planet, tutupan awan tampaknya mulai memudar. Akhirnya, semua bukti menunjukan lenyapnya awan sama sekali.

"Saya terkejut betapa cepatnya awan di Neptunus menghilang. Pada dasarnya, kami melihat penurunan aktivitas awan dalam beberapa bulan,"

kata Imke de Pater, seorang profesor astronomi emeritus di University of California, Berkeley dan penulis senior studi tentang temuan tersebut.

Penasaran dengan penemuan ini, de Pater dan rekan peneliti memutuskan menggali lebih dalam. Tentu saja, mereka memberikan penjelasan yang cukup menarik, yaitu awan Neptunus terkait erat dengan cara matahari berperilaku selama siklus aktivitasnya selama 11 tahun.

Benarkah itu Kesalahan Matahari?

Siklus matahari pada dasarnya mengacu pada cara medan magnet bintang induk kita itu berubah seiring berjalannya waktu, khususnya selama 11 tahun. Terlepas dari apa yang terlihat, matahari bukanlah sebongkah tanah yang panas terik. Sebaliknya, itu merupakan lautan raksasa berbentuk bola yang terbuat dari partikel bermuatan yang secara kolektif dikenal sebagai plasma.

Itu berarti struktur matahari umumnya dapat mengalir dan membentuk dirinya sendiri seiring waktu. Sehubungan dengan gerakan tersebut, medan magnet matahari, yang terkait langsung dengan semua partikel bermuatan itu menjadi kusut.

Saat bidang-bidang ini menjadi kusut, mereka mengerahkan lebih banyak ketegangan pada bintang induk kita, sampai bola bercahaya kuning tidak dapat menanganinya lagi. Kemudian, setiap 11 tahun, matahari melakukan semacam reset, yaitu medan magnetnya terbalik. Artinya, kutub utara menjadi kutub selatan dan sebaliknya. Dari sana, siklus terulang kembali.

Namun, selama 11 tahun itu, hal-hal lain juga terjadi karena perubahan medan magnet. Misalnya, simpul medan magnet menyebabkan peningkatan jumlah dan intensitas semburan matahari, yang merupakan pelepasan radiasi yang sangat kuat ke luar angkasa.

Suar ini kadang-kadang bisa begitu kuat, bahkan mengganggu satelit yang mengorbit Bumi. Mereka juga sering dikaitkan dengan letusan raksasa plasma surya yang dikenal sebagai coronal mass ejections. Letusan ini dapat menghujani planet kita dengan partikel bermuatan yang menciptakan mini-blip sementara di jalur komunikasi.

Tapi yang paling penting yang harus dianalisis tim Neptunus adalah satu fenomena yang terjadi selama siklus matahari, yaitu dia memancarkan banyak radiasi ultraviolet sebagai transisi medan magnetnya. Menurut para peneliti, masifnya matahari membuat radiasi semacam itu membanjiri sisa tata surya. Tentu saja masuk akal jika seluruh situasi itu bisa memengaruhi satu atau dua planet, termasuk Neptunus, meskipun planet berangin itu terletak sekitar 4,5 miliar kilometer dari bintang kita tercinta.

Kemana awan Neptunus pergi?

Untuk membedah ke mana awan Neptunus pergi, tim peneliti mengumpulkan 30 tahun gambar Neptunus yang diambil oleh observatorium yang kuat, termasuk Teleskop Luar Angkasa Hubble NASA dan Observatorium WM Keck yang terletak di Hawaii. Peneliti menemukan bahwa ada korelasi yang jelas antara jumlah awan di Neptunus dan titik di mana siklus matahari kita berada.

Lebih khusus lagi, kira-kira dua tahun setelah puncak siklus pembalikan medan magnet, Neptunus menunjukkan tutupan awan yang padat. Setelah puncak itu, awan Neptunus tampak memudar di atas atmosfer hidrogen, helium, dan metana planet itu. Untuk diketahui, kandungan metana adalah yang membuat Neptunus terlihat sangat biru.

Secara potensial, ini berarti radiasi puncak UV matahari, mungkin mendorong reaksi fotokimia, yang dipicu oleh penyerapan energi dalam bentuk cahaya untuk menghasilkan tudung berawan Neptunus. Kemungkinan reaksi itu butuh waktu sekitar dua tahun untuk mulai berlaku, dan itu menjelaskan mengapa setelah dua tahun puncak matahari, tim baru menyaksikan kelimpahan awan Neptunus.

"Data luar biasa ini memberi kita bukti terkuat bahwa tutupan awan Neptunus berkorelasi dengan siklus matahari," kata de Pater.

Lebih lanjut, tim melihat semakin banyak awan yang ada di dunia biru membuatnya semakin terang. Itu karena lebih banyak sinar matahari yang terpantul dari awan tersebut.

"Potensi korelasi variasi kecerahan Neptunus dengan perubahan musim dan siklus aktivitas matahari telah dieksplorasi, namun sejauh ini tidak ada penyebab tunggal yang teridentifikasi. Sementara efek musiman berperan penting dalam perubahan bertahap yang lambat, variasi kecerahan sekuler harus memiliki asal yang berbeda," tulis penulis penelitian dalam makalah mereka.

Untuk lebih jelasnya, semua hasil itu adalah konsekuensi dari melihat 2,5 siklus aktivitas awan yang direkam selama tiga dekade pengamatan Neptunus yang dilakukan tim peneliti. Selama ini, para peneliti mengatakan bahwa reflektifitas planet meningkat pada tahun 2002, meredup pada tahun 2007, menjadi terang kembali pada 2015, kemudian gelap pada 2020, ketika awan tampaknya telah hilang sama sekali.

"Bahkan sekarang, empat tahun kemudian, gambar terbaru yang kami ambil Juni 2023 lalu masih menunjukkan awan belum kembali ke tingkat semula. Ini sangat menarik dan tidak terduga, terutama karena periode aktivitas awan rendah Neptunus sebelumnya tidak sedramatis dan berkepanjangan," kata

Erandi Chavez, seorang mahasiswa pascasarjana di Pusat Astrofisika, Harvard-Smithsonian dan pimpinan penelitian itu.

Sebenarnya cukup mengejutkan bahwa semua perubahan ini terlihat jelas dalam gambar yang diambil tim peneliti. "Sangat menarik bisa menggunakan teleskop di Bumi untuk mempelajari iklim dunia lebih dari 2,5 miliar mil jauhnya dari kita," kata Carlos Alvarez, seorang astronom di Observatorium Keck dan salah satu penulis penelitian tersebut.

Di masa mendatang, Alvarez dan rekannya akan terus memantau aktivitas awan Neptunus untuk melihat kapan fitur berbentuk cirrus ini muncul kembali. Faktanya, selama beberapa tahun terakhir, karena sinar UV matahari telah meningkat sedikit, mereka telah melihat kemunculan awan.

"Kami telah melihat lebih banyak awan dalam gambar Keck terbaru yang diambil pada saat yang sama Teleskop Antariksa James Webb milik NASA mengamati planet ini. Awan ini secara khusus terlihat di garis lintang utara dan di dataran tinggi, seperti yang diharapkan dari peningkatan yang diamati dalam fluks UV matahari selama kira-kira dua tahun terakhir," kata de Pater.

Karena itu, Neptunus tidak perlu khawatir. Sebab, awan itu akan kembali pada waktunya. Sumber: Space.com

× Image