Home > News

Kota-Kota Paling Berpolusi di Dunia, Jakarta tidak Disebut

Kota-kota di AS memiliki udara terburuk di dunia pada musim kebakaran hutan akhir-akhir ini.
Pengunjung beraktivitas di Perpustakaan Nasional dengan latar belakang polusi di langit Jakarta. Anggota Komisi IV DPR sebut 16 PLTU menjadi dalang polusi udara di DKI Jakarta. Gambar: Republika/Thoudy Badai

ANTARIKSA -- Polusi udara yang melanda Jakarta dan sekitarnya akhir-akhir ini ternyata tidak menjadikan Ibu Kota menjadi bahan cercaan dunia. Setidaknya, udara Jakarta belum masuk masuk daftar yang terburuk.

Itu karena selama satu atau dua hari selama musim kebakaran hutan, kota-kota seperti New York, Chicago, San Francisco, Sacramento, dan Seattle di Amerika Serikat dilanda polusi berat. Kota-kota itu pun mendapatkan predikat kualitas udara terburuk di dunia berdasarkan data real-time dari perusahaan sensor udara IQAir.

Namun di luar musim kebakaran hutan, sebagian besar kota-kota ini biasanya tidak memiliki polusi udara seekstrem itu. Jadi, kota mana saja yang biasanya memiliki kualitas udara terburuk tahunan, dan mengapa?

Polusi udara sering kali diukur berdasarkan konsentrasi materi partikulat (PM), atau campuran tetesan padat dan cair yang tersuspensi di udara. Ratusan kota memiliki udara sepanjang tahun yang dianggap tidak sehat oleh EPA AS, berdasarkan data terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai polusi partikel kecil PM2,5, atau partikel yang dapat dihirup lebih kecil dari 2,5 mikrogram dalam satu hari.

Laporan IQAir menemukan, Lahore, Pakistan memiliki kualitas udara terburuk pada tahun 2022. Hotan di Tiongkok berada di peringkat kedua, diikuti oleh pinggiran Kota Delhi, India. Pada tahun 2021, tiga kota paling berpolusi berada di India, dan Delhi menduduki peringkat pertama, kemudian Dhaka, Bangladesh, dan N'Djamena, Chad. Kota-kota tersebut memiliki rata-rata lebih dari 90 mikrogram per meter kubik PM2.5 sepanjang tahun, atau hampir 20 kali lipat dari tingkat yang direkomendasikan.

Meskipun pemeringkatan ini menunjukkan beberapa titik rawan polusi udara, sulit untuk menentukan kota mana yang benar-benar memiliki udara terburuk. Sensor yang digunakan memiliki kualitas yang bervariasi, sementara banyak negara di Afrika tidak muncul dalam daftar karena tidak melaporkan data sama sekali.

Kemudian, metrik yang diukur, PM2.5, memiliki keterbatasan. Menghirup partikel kecil dapat menyebabkan masalah kesehatan, dan sangat sedikit kota yang memenuhi pedoman PM2.5 WHO yang paling ketat. Namun komposisi kimia dari partikel-partikel ini juga dapat berdampak pada kesehatan. Seorang juru bicara WHO mengakui, penelitian itu tidak meyakinkan, namun ada kemungkinan bahwa kota-kota dengan tingkat PM2.5 yang sama secara keseluruhan akan mempunyai hasil kesehatan yang berbeda tergantung pada sumber polusinya.

Ada beberapa alasan mengapa beberapa kota memiliki lebih banyak PM2.5 dibandingkan kota lainnya. Salah satunya adalah geografi. Hotan berada di dekat gurun Taklamakan dan sering mengalami badai debu. N'Djamena juga terletak di dekat tepi selatan Gurun Sahara. Pegunungan dapat berdampak pada kualitas udara dengan mempersulit penyebaran polutan, sementara Delhi, Lahore, Dhaka, dan banyak kota lain dengan udara tidak sehat terletak tepat di selatan pegunungan Himalaya.

"Di Delhi, misalnya, sentuh saja apa saja dan Anda akan terkena debu, meskipun Anda membersihkannya setiap hari,” kata Umesh Kulshrestha, Dekan Fakultas Ilmu Lingkungan di Universitas Jawaharlal Nehru di New Delhi. Hujan yang jarang terjadi di luar musim hujan menyebabkan debu menumpuk, tidak hanya dari gurun yang jauh, namun juga dari jalan tidak beraspal dan pekerjaan konstruksi di Delhi sendiri.

Selain itu, polusi PM2.5 di Delhi juga berasal dari bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil membahayakan kualitas udara di kota-kota di seluruh dunia. Secara tidak langsung, hal ini meningkatkan suhu global, yang berarti semakin banyak kebakaran hutan yang terjadi dan semakin banyak ruang hijau yang menjadi gurun. Kedua proses tersebut menambahkan PM2.5 ke udara. Emisi dari kendaraan, pembangkit listrik, dan sumber industri juga secara langsung mencemari kota-kota setempat.

Dalam ulasannya di jurnal Aerosol and Air Quality Research, Kulshrestha menemukan bahwa selama lockdown pandemi pada awal 2020, kualitas udara Delhi meningkat. Skor indeksnya turun sebesar 41 persen berkat berkurangnya emisi kendaraan dan industri.

Kulshrestha mengatakan, di Asia Selatan, sumber umum PM2.5 lainnya adalah pembakaran batu bata, pembakaran tanaman, dan biofuel yang masih diandalkan oleh banyak rumah tangga untuk memasak dan memanaskan sesuatu. Menurut dia, India sedang berupaya meningkatkan sumber energi terbarukan dan mengganti biofuel dengan gas alam cair. Meskipun itu berkontribusi terhadap pemanasan global, namun juga dapat menurunkan PM2.5 rumah tangga.

Amerika Serikat masih menjadi konsumen bahan bakar fosil terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok, sehingga berkontribusi terhadap buruknya kualitas udara di seluruh dunia. Namun, beberapa dekade yang lalu, kabut asap yang terus-menerus terperangkap di Cekungan Los Angeles California mendorong lahirnya Undang-Undang Udara Bersih, yang sejak itu telah memperbaiki polusi udara di seluruh AS.

Demikian pula, kota-kota yang paling tercemar saat ini juga mengambil tindakan melindungi langitnya. Di Dhaka, larangan penggunaan mesin dua tak menjadi langkah yang tidak efisien dan menimbulkan polusi tinggi pada kendaraan roda tiga, membuat tingkat emisi kendaraan PM2.5 tetap stabil seiring dengan pertumbuhan kota tersebut.

Meskipun sebagian besar kota di Tiongkok termasuk yang paling tercemar, polusi telah mengalami penurunan drastis selama dekade terakhir sejak negara tersebut menerapkan kebijakan udara bersih. Di Delhi, Kulshrestha mendorong pembuatan danau buatan. Sebab, lebih banyak air berarti lebih banyak penguapan, lebih banyak hujan, dan setidaknya lebih sedikit debu. Sumber: Live Science

× Image