Home > Gaya Hidup

Otak Kosmonot Berubah Mengejutkan Usai Misi Luar Angkasa

Selain pergeseran cairan, tim melihat perubahan bentuk di otak yang merupakan kumpulan besar serabut saraf.
Ilustrasi otak manusia.
Ilustrasi otak manusia.

ANTARIKSA -- Otak manusia berubah seiring bertambahnya usia dan pertumbuhan. Tapi apa yang terjadi pada otak manusia setelah lama berada di luar angkasa?

Dalam sebuah studi baru oleh Badan Antariksa Eropa (ESA) dan Badan Antariksa Rusia, Roscosmos, para peneliti menjelaskan bagaimana otak kosmonot berubah setelah melakukan perjalanan ke luar angkasa. Mereka menemukan otak para kosmonot hampir 'diatur ulang' dan terjadi pergeseran cairan serta perubahan bentuk. Penelitian ini telah diterbitkan di jurnal Frontiers in Neural Circuits edisi Jumat, 18 Februari 2022.

Perubahan ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan setelah seseorang kembali ke Bumi. "Perubahan aneh pada otak yang diamati tim sangat baru dan sangat tidak terduga," kata pemimpin studi tersebut, Floris Wuyts, seorang peneliti di University of Antwerp di Belgia, kepada Space.com.

Tim peneliti internasional mempelajari otak milik 12 kosmonot pria sesaat sebelum dan setelah penerbangan mereka ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Mereka juga mengamati otak para kosmonot tersebut setelah tujuh bulan kembali ke Bumi.

Semua kosmonot dalam penelitian ini mengambil bagian dalam penerbangan berdurasi panjang, rata-rata 172 hari atau lebih dari lima setengah bulan. Wuyts mengatakan, awalnya mereka fokus pada penelitian neuroplastisitas untuk melihat bagaimana otak beradaptasi dalam penerbangan luar angkasa. Namun, tim juga akhirnya fokus pada konektivitas di dalam otak para kosmonot.

"Dengan makalah (tentang) konektivitas ini, kami akhirnya mendekati jawaban mengenai neuroplastisitas," kata dia.

Untuk mencapai ini, tim menggunakan teknik pencitraan otak yang disebut traktografi serat, teknik rekonstruksi 3D yang menggunakan data dari difusi MRI (magnetic resonance imaging), atau pemindaian dMRI untuk mempelajari struktur dan konektivitas di dalam otak. "Fiber tractography memberikan semacam skema pengkabelan otak. Studi kami adalah yang pertama menggunakan metode khusus ini untuk mendeteksi perubahan struktur otak setelah penerbangan luar angkasa," kata Wuyts.

MRI dapat melihat struktur pada tingkat materi abu-abu dan materi putih dan cairan di otak , yang disebut cairan serebrospinal (CSF). Setelah penerbangan luar angkasa, struktur otak ini tampak berubah, terutama karena deformasi yang disebabkan oleh pergeseran fluida yang terjadi di luar angkasa. Menariknya, tim juga menemukan peningkatan materi abu-abu dan putih. Di otak, materi putih memfasilitasi komunikasi antara materi abu-abu di otak dengan materi abu-abu di bagian tubuh lainnya.

Selain pergeseran cairan ini, tim melihat perubahan bentuk di otak, khususnya di corpus callosum, yang merupakan kumpulan besar serabut saraf. Wuyts menggambarkan corpus callosum sebagai jalan utama yang menghubungkan kedua belahan otak.

Sebelumnya, penerbangan luar angkasa diperkirakan akan menyebabkan perubahan struktural pada corpus callosum dengan sendirinya. "Namun, tim menemukan ventrikel di dekatnya benar-benar melebar, yang menggeser jaringan saraf di wilayah sekitar corpus callosum, mengubah bentuknya," jelas Wuyts. Ventrikel di otak adalah kantong yang menghasilkan dan menyimpan CSF, cairan yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang.

Para peneliti juga menemukan perubahan dalam hubungan saraf antara beberapa area motorik otak. Penulis utama penelitian itu, Andrei Doroshin mengatakan, area motorik adalah pusat otak di mana perintah gerakan dimulai. Dalam keadaan tanpa bobot, seorang astronot perlu menyesuaikan strategi gerakannya secara drastis, dibandingkan dengan Bumi. "Studi kami menunjukkan bahwa otak mereka telah diatur ulang," kata dia.

Perubahan otak itu tidak hanya ditemukan sesaat setelah kosmonot mendarat. Dalam pemindaian otak yang diambil tujuh bulan kemudian, tim menemukan perubahan tersebuti masih ada.

Apa yang bisa dilakukan?

Wuyts mengatakan, penelitian itu akan digunakan oleh para peneliti selanjutnya bagaimana cara melindungi manusia yang pergi ke luar angkasa dengan lebih baik. "Penelitian kami menunjukkan bahwa kami harus melakukan tindakan pencegahan untuk membatasi pergeseran cairan dan perubahan bentuk otak," kata Wuyts.

Wuyts menambahkan, satu ukuran yang dapat mengurangi efek ini adalah gravitasi buatan. Gravitasi buatan, secara teori, diciptakan oleh gaya inersia untuk meniru gravitasi seperti yang kita alami di Bumi. Para ilmuwan dalam beberapa tahun terakhir telah mulai mewujudkan konsep ini.

"Menggunakan gravitasi buatan di stasiun luar angkasa atau roket ke Mars kemungkinan besar akan memecahkan masalah perpindahan cairan. Ini rumit untuk direalisasikan. Namun, ini mungkin jalan yang harus ditempuh. Penelitian di masa depan akan membuktikannya," kata Wuyts.

× Image